Bye, 2012 (I'm Glad We Ever Met) ...


"Karena memori ... Sesungguhnya ia terbang sebebas gas di udara. Kadang kala itu mengenai kita. Memori tidak pernah terhambat. Kadang kala, hanya kita yang tidak ingin melepas itu."


4.20.38 dan akan terus mengetuk, lalu membangunkan semua manusia dari tidur pagi di sebuah tanggal 1 Januari 2013. Atau mungkin ada yang tidak tertidur dan memilih menghabiskan sisa malam bersama dengan orang yang mereka anggap penting. Tidak masalah. Seluruh keputusan untuk sehari ini dianggap masuk akal.

------

2012.

Ada banyak hal terjadi, banyak pembelajaran, banyak kesalahan, dan banyak segala banyak yang berakumulasi menjadi sebuah pengalaman perjalanan hidup yang begitu menyenangkan. The journey of life. Saya pernah berpikir, mau kemana hidup ini dibawa pada akhirnya. Jawabannya adalah, bukan soal "destinasi terakhir" melainkan perjalanan menuju destinasi itu.

Kencangkan sabuk pengaman lalu nikmati perjalanan dengan segenap cinta yang ada. Atau kalau sedang ingin menguji andrenalin, ulurkan sabuk pengaman, dan nikmati dengan sedikit hormon yang meningkat. Pilihan dianggap masuk akal, tidak ada yang salah atau benar.

Dan untuk sebuah perjalanan di tahun 2012 yang begitu menyenangkan, ada beberapa momen indah yang begitu terkenang di ingatan. Sebuah momen yang tidak selama menyenangkan, namun tetap dimasukkan ke dalam kategori indah -- karena semua indah pada waktunya, bukan?

Jadi untuk pertemuan dengan seluruh perjalanan di tahun 2012, saya bersyukur. Baik, buruk, menyakitkan, menyenangkan, semuanya adalah sebuah anugerah yang tidak bisa diberhentikan ketika seorang manusia memutuskan untuk menjalani hidupnya secara benar.

Goodbye 2012, thank you for the journey and I'm glad that we ever met. Surprise me, 2013!

Natal di Sebuah Coffee Shop Favorit

Di sebuah coffee shop favorit, kami berbagi cerita. Dari ketidaktahuan menjadi rasa tahu yang begitu tajam diterjemahkan lewat kata-kata atau gerak tubuh. Penolakan demi penolakan yang berujung pada penerimaan. Ini cerita Natal di sebuah coffee shop favorit.

Saya mengenal banyak orang dalam proses perjalanan dua puluh satu tahun hidup. Ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan, ada yang membuat hati ini terasa begitu perih; dimana seluruh kehadiran elemen mahluk hidup bernama manusia ini saya syukuri keberadaannya.

Namun, untuk penutup tahun yang begitu menyenangkan, saya kembali ditegur oleh seorang sahabat lama, berbatas dengan Americano dan Frappucino milikinya. Kami memang berbagi banyak hal di hari yang kebetulan juga adalah Natal; dengan buku "Life Traveler" karya Windy Ariestanty dan dengan Majalah Asri terbaru.

Pembicaraan itu terhenti di sebuah titik yang tidak menyenangkan bagi saya. Tidak menyenangkan karena saya tidak mampu mendeskripsikan apa yang ada di dalam hati saya dan hanya digantikan dengan mata yang berair menahan segala kata yang tertahan di pikiran.

"Kamu sesungguhnya sama saja dengan mereka yang berlaga baik-baik saja, padahal di dalam kamu itu sudah perlu dibetulin," ujarnya sambil menunjuk bagian tubuh yang (katanya) tempat hati dan perasaan berkumpul.

Saya diam. Air mata ini mengambang di pelupuk. Saya tidak mau mengeluarkannya, apalagi meningat saya ada di tempat umum. Saya malu. Saya aduk-aduk Americano yang sesungguhnya sudah tidak perlu diaduk-aduk, saya mencari cara supaya tangan ini beraktifitas dan mata ini menunduk ke bawah.

"It's okay to be not okay.... Kamu yang ngajarin ini ke banyak orang kan? Meanwhile you are not okay but you act, you trying so hard, to be okay."

Pembicaraan ini terpicu karena teman baik ini miris melihat saya dan salah satu prinsip hidup mengenai "manusia ada dan bersama hanya untuk saling menyakiti, pada akhirnya" dimana menurut saya ini benar dan menurut dia ini terlalu antagonis.

Seluruh pembicaraan terputar dan saya sampai di bagian buntu dan hanya jadi pendengar. Americano sudah habis, begitu pun dengan Frappucino miliknya. Kami akhirnya diam dimakan kata-kata yang sudah mentok dikeluarkan. Lebih tepatnya, dia yang diam, karena saya sudah diam dari awal pembicaraan ini dibicarakan.

Satu kata keluar dari mulut saya, "I never expect my Christmas gonna be that hard. I know you are right, I just don't want to admit it and think how broken I am. It's gonna cost me so much time and I don't want to spend the rest of 2012 to think about it."

Ia terdiam. Pun dengan saya.

"You need to recovery yourself. Soon," ujarnya.

Saya mengangguk, lalu diam. Pun dengan dia.

Tidak lama kemudian, mungkin lelah dengan jeda hening diantara kami berdua, dia berdiri. Saya bertanya mau kemana dan ia menjawab mau memesan kopi lagi. Saya ikutan memesan Americano kembali, kini dengan tambahan scone. Kami butuh asupan makanan. Otak ini sudah dibawa berputar-putar saat Santa Claus berputar memberikan hadiah.

Setidaknya, kami berbagi di hari Natal, dari hati ke hati. Dan kepercayaan bodoh saya berkata bahwa ia mengerti maksud dari seluruh airmata dan gerakan absurd yang saya keluarkan karena tidak bisa berkata-kata lewat bibir.

Kepercayaan bodoh yang mengatakan, walau tanpa kata-kata, ia mengerti.

:')

it takes time to believe in something
but it only one word to break it up
long time, short time
broke at first, you find yourself in the middle of dark den
couldn't move
only stares at the den's buttress
find the possibilities about this uncanny feelings

it do take time

it takes many long time to believe again in something
but it only one word to break it up
more long time, more short time
broke at second, you laugh at yourself
couldn't stop
only ask why life can be that mean to you
to tell you not questioning what you already believe
in such that way

and the thing you know after that

you not questioning again your believe
you accept the way is it
with more creed

Why Be Happy When You Could Be Normal?

Truth for anyone is a very complex thing. For a writer, what you leave out says as much as those things you include. What lies beyond the margin of the text? The photographer frames the shot; writers frame their world. Mrs Winterson objected to what I had put in, but it seemed to me that what I had left out was the story’s silent twin. There are so many things that we can’t say, because they are too painful. We hope that the things we can say will soothe the rest, or appease it in some way. Stories are compensatory. The world is unfair, unjust, unknowable, out of control. When we tell a story we exercise control, but in such a way as to leave a gap, an opening. It is a version, but never the final one. And perhaps we hope that the silences will be heard by someone else, and the story can continue, can be retold. When we write we offer the silence as much as the story. Words are the part of silence that can be spoken. Mrs Winterson would have preferred it if I had been silent. Do you remember the story of Philomel who is raped and then has her tongue ripped out by the rapist so that she can never tell? I believe in fiction and the power of stories because that way we speak in tongues. We are not silenced. All of us, when in deep trauma, find we hesitate, we stammer; there are long pauses in our speech. The thing is stuck. We get our language back through the language of others. We can turn to the poem. We can open the book. Somebody has been there for us and deep-dived the words. I needed words because unhappy families are conspiracies of silence. The one who breaks the silence is never forgiven. He or she has to learn to forgive him or herself. (Jeanette Winterson)

I'll Be Home For Christmas




Rascal Flatts sedang sering bernyanyi-nyanyi di iTunes lewat lagu "I'll be home for Christmas... You can count on me..."

Tanpa jeda, lagu ini terus menerus mengalun dengan begitu indah sembari saya mengerjakan proyek-proyek kantor sebelum akhirnya masuk ke fase libur panjang. Satu terlintas di otak ini: semoga "rumah" yang selalu saya datangi kembali untuk pulang bukanlah rumah yang salah. Semoga saya berada di rumah yang benar. Itu doa seumur hidup saya.

Happy (near) holiday!

Senja

Namanya Senja.

Senja tidak bisa melawan seluruh ketakutan yang ada di dalam tubuh dan jiwanya, bukan karena Senja tidak ingin namun karena ketidakjelasan masih mengambang sehingga Senja merasa harus berjaga-jaga.

Senja hanya bisa mematung.

Seluruhnya terasa buram. Pertanyaan tanpa jawaban.

Tidak tersisa apa-apa, selain penyesalan atas sebuah kejadian kecil di suatu taman pada sore senja itu. Senja tidak ingin mengingat detailnya, walau dia bisa mengingat sampai bagian tertidak penting dari semuanya. Tidak ada yang belum selesai, Senja hanya ingin melebur bersama dirinya tanpa bias.

Senja memperbolehkan dirinya bertanya dengan dirinya kali ini, mengobrol tanpa henti, dan meneruskan monolog tanpa arah dan membawanya kepada sebuah kenyataan yang sesungguhnya tidak ingin ia sentuh.

Sudah banyak yang berkata di belakang Senja bahwa ia gila. Terlalu melankolis. Terlalu berpikir melebih-lebihkan. Senja kali ini sesungguhnya tidak peduli. Ia hanya ingin berbagi dan menjadi dirinya sendiri tanpa berpikir mengenai orang lain. Senja sudah terlalu lelah berpura-pura. Dia tidak ingin menjual apapun, ke siapapun, termasuk seluruh jenis cerita atau kisah hidupnya. Ia hanya simpel ingin dimengerti tanpa kata-kata.

Namun itu mungkin permintaan paling muluk dari seorang manusia.

Senja kali ini berbagi dengan segelas cokelat hangat, dibawah hujan deras, di sebuah payung kecil berwarna hijau dengan Helvetica tebal berwarna putih. Senja hanya ingin merasa jelas atas semuanya sebelum melakukan keputusan paling gila yang pernah ia putuskan... keputusan yang pernah dilakukannya dahulu kala, 6 tahun yang lalu.

Keputusan yang membawanya pada pilihan-pilihan yang sesungguhnya tidak ingin ia sentuh. Atau ingin namun belum berani ia dekati?

Hujan turun, begitu pula dengan senja yang kini berganti dengan malam. Begitu pula dengan Senja.

Ia jadi teringat sebuah lirik lagu dari Johnny Cash... "I only focus on the pain, the only thing that's real .... full of broken thoughts, I cannot repair..."

Mungkin ini semua tidak nyata, ya? Senja bertanya-tanya sambil menatap langit yang begitu gelap. Seluruh rasa sakit, seluruh rasa bahagia, seluruh tawa, seluruh tangis... mungkin mereka tidak nyata. Mungkin seperti mimpi, mereka akan mati dimakan lupa. Jadi mungkin, sepertinya, mereka tidak nyata.

Malam datang sudah semakin naik ke atas. Senja memilih kabur. Kabur dari semuanya.

Holiday Treats from Cold Stone Creamery

Cold Stone kembali hadir dengan the newest holiday treats yang berisikan lima macam ice cream cakes yang bisa di order mulai tanggal 1 November 2012 sampai dengan 6 Januari 2013. Menggunakan ice cream chocolate sebagai bahan dasarnya, Cold Stone memiliki 5 varian rasa yang sangat menarik, tidak lupa dengan tampilan luar menggunakan sugar icing sehingga semuanya eatable.


Ada "Holiday's Delight" yang menggunakan campuran kacang almond, oreo, dan peanut butter, "Pingu Freeze Land" yang menggunakan campuran oreo, cookies and chocolate fudge, dilapisi dark chocolate and chocolate shaving, "Twinkle Lil' Star" yang berwarna merah menyala sendiri mengguankan buah blueberry dan strawberry dilapisi dengan red chocolate and chocolate shavings, "Tons of Gifts" yang berisikan chocolate fudge, brownies, dan chocolate chips, serta yang terakhir yang adalah favorit saya, "Christmas In Town" mint ice cream dipadu dengan Arnott's Caramel Biscuit, terlapisi dark chocolate ganache.

Kenapa saya bisa katakan ini favorit saya? Karena dari kelima rasa yang disediakan oleh Cold Stone untuk dicicipi saat Press Conference, rasa yang paling membuat saya merasa benar-benar liburan adalah rasa dari "Christmas In Town" ini.

Kal ini, rasakan the ultimate ice cream experience sebelum akhir tahun berakhir!



(source photos from Cold Stone)

1 November 2012

Banyak hal terakumulasi di dalam pikiran saya saat ini. Banyak hal yang sudah pernah terucap dan dipikirkan, atau belum terucap namun sudah dipikirkan. Banyak kemungkinan atau probabilitas yang berputar-putar dikepala ini. Dan saya sesungguhnya benci dengan keadaan seperti ini.

Keadaan dimana saya mendengar seluruh yang dikatakan oleh orang lain tanpa mengetahui apa yang sebenarnya saya inginkan. Tanpa mengerti apa yang sesungguhnya hati dan pikiran saya inginkan dengan sistem win win solution.

Seseorang pernah berkata kepada saya:

Jangan pernah terlalu keras dengan diri sendiri.

Masalahnya, apabila kita tidak keras dengan diri sendiri, apakah keadaan akan berjalan sesuai dengan keharusannya? Apabila kita belajar menikmati semuanya hanya demi tidak ingin melewati banyak momen bahagia dalam kehidupan yang cuma sekali ini; apakah hal itu disebut benar-benar "menikmati"?


Banyak pertanyaan yang sedari dulu berkeliling-keliling di kepala saya, meminta, cenderung berteriak-teriak ingin dikeluarkan agar tidak menganggu kewarasan berpikir. Masalahnya, tidak bisa semudah itu. Banyak pertanyaan "ada apa?" atau "kamu kenapa?" atau "apa yang salah?" yang sebenarnya hanya mampu dijawab dengan "tidak apa-apa", bukan karena tidak ingin berbagi, namun karena ketidakmampuan seseorang memverbalkan perasaannya.

Saya ingin menganggap semuanya selesai .... Tapi mengapa rasanya sulit sekali. Rasa sakit yang terendam selama bertahun-tahun dan tidak pernah dibicarakan secara verbal itu tidak bisa diberhentikan secepat ini. Walau ingin. Ingin rasanya benar-benar keluar dari ketidakmampuan berlari dari masa lalu ini.

Sulit, tapi ingin.

Boleh tidak saya bertransformasi menjadi Catwoman saja?

Kemungkinan yang Berkonsolidasi

Sudah berhari-hari lembaran buku itu tidak bisa diisi oleh apapun. Tidak dengan kalimat, tidak dengan kata-kata atau hanya kata, tidak dengan huruf, tidak dengan hanya sebuah titik.

Mungkin, seluruh kata-kata itu hanya ingin terbang sebatas dinding-dinding imajinasi serta ingatan provosional seorang wanita dengan kemampuan mengingat begitu minim. Mungkin, kata-kata itu belum saatnya keluar dan berkembang menjadi sebuah memori.

Atau, atau mungkin, kata-kata itu hanyalah bentuk lain dari ketakutan penulisnya, murni karena penulis itu menyadari apa yang tidak ingin disadarinya untuk beberapa waktu.

Mungkin, seperti kata Dewi Lestari, penulis itu tidak mampu mengeluarkan seluruh kata-katanya karena takut menjadi sebuah kalimat yang prematur. Walau tidak semua yang lahir dengan prematur berkonotasi negatif. Tapi penulis lebih memilih mengaborsi kata-kata itu.

Mungkin, penulis itu hanya ingin sesekali merasa egois dengan tidak berbagi dengan orang lain apa yang ada di dalam kepalanya, apa yang sesungguhnya berbicara di dalam hatinya, dan hanya ingin dimengerti tanpa kata-kata.

Mungkin, penulis itu hanya ingin membuat sekitarnya untuk berhenti mengenal dirinya lalu membuat sebuah momen untuk menebak apa yang sesungguhnya terjadi di dalam kepala penulis itu. Mungkin, seperti sebuah leburan ombak, ia hanya ingin berusaha sesekali berjalan bersama dengan angin; tidak bertendensi dan hanya murni menikmati.

Walau kadang kala, menikmati adalah hal terburuk yang pernah terjadi dalam setiap teoritis hidup manusia. Menikmati adalah bentuk merah dari kepasarahan.

Mungkin.

Semua serba mungkin.

Satu yang pasti, lembaran-lembaran buku itu masih kosong. Tidak berisi dengan apapun. Dan penulis itu hanya bisa tersenyum, berharap ada sebuah dari sebuah yang mampu mengisinya.

#PerahuKertas

"Aku nggak mau sepuluh, dua puluh tahun dari hari ini aku masih terus-terusan memikirkan orang yang sama. Bingung di antara penyesalan dan penerimaan."

"..Karena hati tak perlu memilih, ia selalu tahu kemana harus berlabuh."

"Saya nggak mau selamanya menjadi bayang-bayang. Saya nggak mau."

"Hati kamu mungkin memilihku, seperti juga selalu memilihmu. Tapi hati bisa bertumbuh dan bertahan dengan pilihan lain. Kadang, begitu saja sudah cukup. Sekarang aku pun merasa cukup."


"Carilah orang yang kamu nggak perlu meminta apa-apa, tapi dia akan memberikanmu segalanya," ucap Remi. "Kamu Remi, kamu yang bisa seperti itu ke aku.." Kugy berucap bergetar, menangis. "Iya, mungkin kamu yang sudah ketemu, saya belum. " Remi menutup pembicaraan.

"Keheningan seakan memiliki jantung. Denyutnya terasa satu-satu, membawa apa yang tak terucap. Sejenak berayun di udara, lalu bagaikan gelombang air bisikan itu mengalir, sampai akhirnya berlabuh di hati."

"Aku melepas kamu supaya kamu nggak terus-terusan berusaha membahagiakan aku. Karena sesungguhnya hati kamu sudah tidak disini."


"Bersama denganmu, semuanya terasa dekat. Dan bumi hanya sebutir debu dibawah kaki kita."

"Hati itu dipilih, bukan memilih. Bertahan atau melepas, bagaimana hatimu, tergantung hatimu. Hatimu yang tahu."

"Saya cinta, selalu cinta, dan akan terus cinta sama kamu. Perasaan ini nggak ada habisnya."

"Jatuh cinta dengan pelan-pelan, jangan sekaligus, nanti berat."


Perahu Kertasku melaju.... bersama Keenan dan K kecil lain yang masih di dalam perut.

Might Be


the night was released by the time
and reason coming without giving you a space to think
the things that you try to keep inside by yourself finally peeled off
the intention changed

you like turn off your way
and just accept the way it is

suddenly, you asking yourself about something that you can't broke
"is the night armor finally coming?"
or there is no night armor? it is just a cliche?

you only see black and white
but suddenly, like a paint spills into one
you finally see the colors; blue, pink, magenta, orange

your world not only black and white

but the worst is when you doesn't want to think about that;
might be the night armor can be true.
might be the things not always peel off.
might be the colors are true.

might be.

....

and
it's all because you scared to feel hurt again
or maybe you just don't realize the color that finally coming into your life.



tangerang, 6 october 2012.
(photo courtesy: Rezky Nugraha)



Jakarta 1.20 AM - Ubud 2.20 AM

Tengah malam ini saya tersadar hidup yang saya jalani hanya berputar di hal yang "itu-itu saja." Rutinitas menjadi sebuah kata yang menyerang setiap harinya, mengembang, dan membuat epidermi kata rutin menjadi semakin terasa sangat nyata.

Terkadang, saya ingin sekali bisa merasakan ketenangan seperti di Ubud ketika sedang berada di Jakarta. Tidak ada bangunan tinggi, tidak ada bunyi klakson mobil yang merasa "paling" sehingga akhirnya tidak sabar dan saling tikung, tidak ada rasa negatif, tidak ada momen dikejar waktu dan hanya dikejar sunrise dan sunset, tidak ada sinetron tapi radio nasional.

Sehari di Ubud, saya merasa begitu banyak mengenal diri saya sendiri. Di Jakarta, 21 tahun saya masih sering bertanya (sampai saat ini) mengapa sebenarnya kita harus bertahan pada norma-norma "kebenaran" yang sudah disepakati sejak awal tanpa persetujuan dari kita, orang yang menjalaninya? Setidaknya di Ubud, saya sempat mengenal diri saya, walau hanya sejenak. Tidak ada rasa pesimis yang terus menyerang dengan intens semenjak kembali ke Jakarta. Tidak ada rasa ketidakpercayaan yang selalu muncul ketika melihat orang baik.

Pukul satu dini hari.... saya merasa begitu rindu. Saya merasa memiliki rindu yang tidak terbendung. Bukan dengan siapa-siapa. Hanya rasa kangen dengan kesendirian yang benar-benar sendiri tanpa perlu merasa kesepian. Saya selalu menangis setiap kali merasa sendiri dan sepi. Tidak ada masalah sebenarnya dengan kesendirian, namun sepi adalah sebuah momok. Ia tidak boleh menginjak ulu hati saya atau rasa sakit yang masa lalu yang melekat akan kembali terasa.

Rutinitas. Bahkan melupakan rasa sakit saja membutuhkan rutinitas tahunan sebelum kita akhirnya menyerah pada ketidakberdayaan dan akhirnya merelakan, lalu melepaskan yang benar-benar lepas dan lega.

Jakarta terlalu ...... ramai. Dan saya benci keramaian, tapi saya tidak ingin kesepian. Aneh memang. Tapi begitulah keadaan sesungguhnya.

Saya merasa 'kosong' berbicara dengan orang Jakarta. Bukan soal logika atau kemampuan berpikir, tapi perihal ketulusan. Sedikit orang yang "benar-benar ada" untuk kita ketika sedang berbicara. Benar-benar "membantu berdiri" ketika kita terjatuh duduk.

Mengapa terasa begitu sulit percaya dengan orang lain? Bahkan belajar mencintai saja sulit. Mencintai segala yang baru: lingkungan, pelajaran, rutinitas, pekerjaan. Mungkin ini saatnya belajar keras. Atau mungkin ini saatnya kembali memejamkan mata, lalu tertidur, berharap begitu terbangun saya sudah memiliki rutinitas berbeda.

Ya, ya, saya tahu itu tidak mungkin. Baiklah.


Selamat pagi, Ubud...

Thank You For The Sky ...

So, today was ... awesome. Or can I called today with the best Saturday I've had until now? I can, I guess. Remember, I once told you that happiness is a state of mind? Remember that I told you before about being happy is simple? I got a prove today.

I, maybe, a very cheesy girl who really loves something related with nature. I can drop a tears only because I see a big rainbow after the rain. I can feel so happy when I can spend a lot of night see the sky is full of stars. Mostly, everything about nature can make me happy.

And today, I got a very (lemme say) early present for my next birthday. I got sky; a very deep, blue, cottony sky from Houston, Texas. I know it's cheesy, I know it's so weird, but for me, this is the best thing that someone gave to me. Ever.

Why suddenly that people come up with sky? So, at our chat, I once said I really wanna see a sky from where he lives which is Houston, Texas. He said he can't go outside and bring the video camera to lively record the sky, so he suggest to give me the sky I want to see in other way, which is video or photo.

So, the next day after that chat, I asked him, 'where is my sky?' but he forgot about it. But today, suddenly he come up with sent me those 42 files. I really no have idea what he sent, because the last thing he sent to me was his own photo .... which is a very freak boy with broken teeth and blood covered his face. All around his face.

.....Because I thought he wants to fool me again, I'm not expecting something good from all those 42 files.

And when I opened it, look what I got... a very cottony sky from Texas. It makes me smile for the rest of the day. See? Being happy is simple, right? Happiness is a state of mind, right? When you tell your mind to be happy, you'll happy. Vice versa.


.......

Call it cheesy. Call it stupid. But still, it's a very best thing I ever had ... a man who brought me sky. I mean, it's sky! Even it's only a picture but I still feel grateful.

So, here, I specially made this post for you. For keeping my mind from thing named "forget" and for give you a special kind of thank you. So, thank you, Monster Alligator.

It's so sweet of you. :)

(Anyway pardon my bad English. I try my best to make the grammar and stuff, right.)

Life IS Funny :)

You feel so alone. You feel like every single dialogue that you do with other people just a bunch of shit. You try to do your best but you know you just messed it up, in the end.
You don't know what supposed you do. The only surely thing you know very sure is you always make a mistake. That's it. Like … you don't have any problem but you feel like your breath is taken away for something you don't know.
But the good news, your feeling is getting strong about something. Something like how funny people called themselves with best friend forever but they also talking about you behind your back. Strange.
You know what, I had this feeling before and that's why I always keep on my mind that I never want a close relationship with someone.
"Because in the end, people will get hurts."
That quote I got from (500) Days of Summer. At the first when I watched the movie, I feel like Summer Finn is so arrogant. But now .. I know she is just true with herself.
Yep. In the end, either you or your closest one will get hurt … or you hurt each other. Maybe because that's how world works, Gotye can make his famous song. "Somebody That I Used To Know" … maybe I'll. Someday. One day, talk to you with a deep smile on me and said "now, you just somebody that I used to know…"
Well, that's because life play with us. Because life is so funny and they give us many kind of jokes that sometimes we don't get and says: "It's not funny, dude. It hurts."



Backyard Cafe, Teras Kota
22:03
(*ps: At the first, I decide not to publish this in any form and just keep it for myself. But in the end, I know I can't do that and I decide to publish it.)
(*pss: Dedicated for one with the "D" initial. You know it's for you.)

Enjoying Silent

What is the best thing in the world that I wish I could do with my future husband? Enjoying silent and just stare at each other eyes for like .... a hour? Because when you can enjoy the silent between you and your wife/husband, it means you already comfortable with each other. Read this from thoughtcatalog.com: "someone who needs to keep talking to you might seems like they love you, but they actually just need you. It's not the same, and it's not as good." But it might be ... maybe .. I don't know it yet.

Hallo Gie,

Hallo, Soe atau Gie, atau Soe Hok Gie,


Akhirnya kita bertemu di Mandalawangi, walau aku tidak kesana secara langsung dan hanya melihat plang dengan tulisan besar "Mandalawangi". Walau tidak ke Gunung Pangrango. Walau batas kemampuan baru bisa membawaku melewati sejam jalan setapak perjalananmu ke sebuah air terjun indah dengan rasa dingin dibawah garis normal.

Aku merasa tidak apa-apa. Aku merasa cukup Gie. Aku merasa perjalanan liburan kali ini terasa begitu indah, simpel karena aku menyadari bahwa aku berkunjung ke tempat favoritmu.

Anehnya, aku merasa makin jatuh cinta denganmu. Aku merasa makin mengerti kesepian yang kamu ceritakan lewat tulisan-tulisanmu. Makin mengerti mengenai perjuangan yang kamu lakukan, walau tidak semuanya; dan tidak akan pernah kumengerti semuanya, karena aku tidak pernah mengenalmu secara personal.

Gie, ternyata sebegitu indahnya Mandalawangi sampai kamu mampu menulis puisi begitu indah disana. Atau kesepian dan cinta yang berkembang jadi satu yang mampu membuat sebuah Mandalawangi terasa begitu personal untukmu? Kupilih jawaban kedua. Mungkin bukan soal bagaimana, tapi siapa dan kenapa.

Gie, tanpa perlu mengenalmu, kamu mampu membuatku merasa bahwa perasaan aneh dan kesendirian ditengah banyak orang baik disekelilingku adalah sebuah rasa yang normal. Bahwa semuanya memang begitu adanya. Naturally happens.

Gie, tahukah kamu bahwa cinta kadang kala membawaku kepada sebuah jenis perasaan yang tidak kumengerti; bahkan kadang kala tak dapat kudeskripsikan lewat kata-kata? Bahwa kadang kala, aku merasa sia-sia dengan segala jenis perasaan yang ada. Bahwa …. ahh, lupakan saja Gie. Aku mungkin terlalu berkhayalan. Terlalu senang bahwa aku mendatangimu setelah sekian banyak perjumpaan maya lewat bukumu, "Dibawah Lentera Merah" dan film yang dimainkan dengan baik oleh Nicolas Saputra. Sebuah buku yang sukses membuatku memiliki sebuah cinta maya kepada seseorang yang telah tiada dan sesungguhnya, tidak pernah kutemui.

Aneh ya, Gie? Mungkin, kalau kamu masih hidup, aku dengan segala jenis harga diri yang ada, akan mendatangimu dan mencerocos mengenai bagaimana kamu membawaku kepada sebuah pengalaman intrapersonal yang indah.

Untuk semua itu, untuk semua perasaan yang tidak terdeskripsi, untuk sebuah Mandalawangi yang kau perkenalkan sebelum aku injak, untuk sebuah prosa dan karya yang membawaku pada imaji liar.

Untuk semua yang ada… Terima kasih.

Terima kasih untuk berbagi sebuah perjuangan, mendeskripsikan lewat kata-kata.

Terima kasih untuk telah ada.


Penggemar terberatmu.

Thank You Neil, You Teach Me Another Side About Love

Neil Gaiman capture me with 14 words at quote of The Sandman comic book: "Have you ever been in love? Horrible isn't it? It makes you so vulnerable."


And also another quotes that, somehow, with his magic way, makes me think that sometimes is okay to be not okay for no reason.

You get ideas from daydreaming. You get ideas from being bored. You get ideas all the time. The only difference between writers and other people is we notice when we're doing it. (Where Do You Get Your Ideas?)

Everybody has a secret world inside of them. All of the people of the world, I mean everybody. No matter how dull and boring they are on the outside, inside them they've all got unimaginable, magnificent, wonderful, stupid, amazing worlds. Not just one world. Hundreds of them. Thousands maybe. (The Sandman)


Tomorrow may be hell, but today was a good writing day, and on the good writing days nothing else matters. (Somewhat Less Sinister Ducks)


“You’ve a good heart,” she told him. “Sometimes that’s enough to see you safe wherever you go.” Then she shook her head. “But mostly, it’s not.” (Neverwhere)


All we have to believe with is our senses, the tools we use to perceive the world: our sight, our touch, our memory. If they lie to us, then nothing can be trusted. And even if we do not believe, then still we cannot travel in any other way than the road our senses show us; and we must walk that road to the end. (American Gods)


Have you ever had one of those days when something just seems to be trying to tell you somebody? (The Sandman)


There is another version of the tale. That is the tale the women tell each other, in their private language that the men-children are not taught, and that the old men are too wise to learn. And in that version of the tale perhaps things happened differently. But then, that is a women's tale, and it is never told to men. (The Sandman)


Sometimes you wake up. Sometimes the fall kills you. And sometimes, when you fall, you fly. (The Sandman)


We write our names in the sand, and then the waves roll in and wash them away. (The Sandman)

Perjalanan

Perjalanan.

Apa yang terindah dari perjalanan seseorang? Mungkin jawabannya adalah pengalaman. Pengalaman yang pada akhirnya membawa seseorang berubah. Saya percaya, perubahan adalah sebuah keadaan yang indah dan menyenangkan.


***

Saya ingat pertama kali saya tertawa begitu lepas, tanpa beban, tanpa berpikir apa yang kira-kira akan terjadi beberapa jam lagi, beberapa hari lagi, beberapa tahun lagi. Semuanya mendadak terasa mudah dan waktu jadi teman terburuk karena berlalu begitu cepat.

Saya ingat pertama kali mengenal yang namanya cinta. Ia datang tanpa diundang, sedikit banyak bentuknya seperti maling; hanya menclak-menclok kesana kemari tanpa memberi tahu jenis perasaan apa yang sebenarnya sedang saya rasakan, sampai pada akhirnya, seluruh buku dan how to tips article menyatakan satu hal soal perasaan saya yakni cinta. Terlambat sudah, perasaan sudah jadi bubur, hati jadi semakin sensitif. Menjauhi bukan sebuah solusi terbaik.

Saya ingat pertama kali bertemu kamu. Kamu dan cinta datang bersamaan, hanya dalam porsi pengenalan yang berbeda. Saya ingat sekali kamu dulu jahat dengan saya. Berusaha mengenal saya pun tidak. Namun waktu berubah, dan rasa mendadak samar. Yang saya tahu, kamu adalah hal terbaik yang hadir dan dicipta untuk saya.

Tapi dari segala ingatan, yang paling saya ingat dan paling saya masih rasakan keberadaannya saat ini adalah sakit. Sakit segala macam bentuk, terlebih sakit hati. Dan kamu juga cinta dan tawa berreuni di dalam rasa sakit itu. Saya tidak pernah menyangka sakit bisa menjadi secinta ini, atau sakit bisa jadi sebahagia ini. Mungkin saya sudah gila. Atau gila adalah pertemuan lain yang diakibatkan bergumulnya seluruh rasa menjadi satu. Seperti spektrum warna.

Lucunya, dari segala macam rasa perjalanan itu, kamu selalu ada di setiap titiknya. Tidak pernah absen sedikit pun.


Foto: www.aishanatasha.com

Be Brave

Baru saja menonton film yang diproduksi oleh Pixar dan didistribusikan oleh Disney berjudul "Brave" dimana ini adalah film animasi kedua yang sukses membuat saya tidak tertidur setelah "Up". Ceritanya simpel, hanya perjuangan bagaimana seorang wanita yang sejak kecil 'berbeda' karena tomboi, harus berusaha mengikuti keinginan sang ibu yang ingin menjadikan anaknya sebagai seorang putri sesungguhnya. Masalah muncul ketika ego anak-ibu ini berada di tingkat paling atas dan pertengkaran besar terjadi, dimana si anak, Merida, seperti kebanyakan remaja labil biasanya mengambil keputusan yang akhirnya merusak seluruh sistem keluarganya.



Tidak seperti kebanyakan film animasi, Brave membawa nuasana sedikit gelap sehingga orang-orang dewasa pun tidak merasa jenuh saat melihat film ini. Didukung dengan teknik backsound yang terlihat digarap sungguh-sungguh, Brave seperti membawa nafas baru bagi image Disney yang sudah kental dengan princess dan happily ever after-nya. Seperti formula film "Red Riding Hood" dan "Snow White and The Huntsman" yang terasa begitu gelap untuk ukuran adaptasi dongeng anak-anak. Sedang booming mungkin membuat film dongeng bernuasana gelap (padahal Tim Burton sudah mulai duluan dengan Alice In Wonderland).



Menonton Brave membuat saya mengkaji lagi hubungan dengan orangtua, khususnya ibu. Saya banyak mengeluarkan airmata di scene-scene intim antara Merida dan ibunya. Keberadaan ayahnya yang keturunan Viking pun menambah warna film ini untuk tidak melulu drama. Sebuah perpaduan yang pas untuk cerita animasi, Brenda Chapman. Apalagi dengan ending yang terasa begitu indah, sangat kekeluargaan (walaupun tetap sangat Disney), cerita ini wajib ditonton di Minggu sore bersama keluarga.

Sayang, entah karena bioskop tempat saya menonton jelek (padahal Blitz Megaplex) atau murni karena kualitas video, ada beberapa part awal yang terlihat sangat buram dan bias.



(Ribka Anastasia Setiawan)
2.8 stars from 5 stars.

(Re-Post) Why You Keep Coming Back

Because you’re addicted. Because you know exactly what Edward meant when he called Bella his own “personal brand of heroin” and you’re ashamed to admit you feel that way. Because you’re like a moth to the flame with this person, because you know you’ll get hurt in the end and yet. Because a part of you knows better and another part doesn’t want to; because you’re not ready to all-the-way know better. Because this is a suicide leap but the way they make you feel makes it somehow worth it.
Because they speak your language. Because they understand you even when they don’t. Because on some deep, intrinsic level you just get each other. Because sometimes it seems like they know you better than you know yourself. Because they’ve seen the worst of you and the best; because, regardless of how they hurt you, you still feel an inexplicable trust.

Because you’re afraid. You’re afraid you’ll never be loved like that again; you’re afraid no one else will be in tune with you, your moods, the essence of who you are in this necessary specific way. Because you’re afraid you don’t have the capacity to love anyone like that again; afraid all your love energy is spent, afraid you’re incapable of ever emotionally getting it up for anyone else. Because you’ve never been so vulnerable with anyone else and the thought of even trying makes you feel hopeless and tired.
Because you think this time will be different, think that with all the naiveté of someone proposing marriage to their drug addicted mate hoping that’s the move that will cure them. “This time will be different” — you hear people say that and you roll your eyes so loud you wake up the neighbors but you do exactly the same thing; the same thing over and over and expecting different results. Because you think you can make this work if you try a little harder, if you just push a little more.

Because you believe in it, against your better judgment. Because you think it’s worth it; because you don’t stop to consider the very real possibility that the negatives outweigh the positives. Because you think you owe each other, your history, something still; because you feel inherently bonded and you don’t want to break it. Because you leave logic out of it; because after all, the heart wants what the heart wants and what can you do about that.

Because you live in the past, because you remember who you were once, who they were, and what you had; remember this and want to rewind. Because you think it’s possible to somehow recreate an idealized past in an unsure future. Because you’ve been holding onto the possibility of becoming a whole again for months, for years, safe and protected by the idea that no matter what happens, you’re not alone because of that faint background possibility of us.

Because you think they’ll change, you’ll change, the circumstances will change; things will somehow mysteriously get better. Because you think this time around you’ll appreciate each other because you know what it’s like to be without. Because you have kids together. Because you have a dog together. Because you have amazing memories together. Because you have an “amor vincit omnia” tattoo. Because Hollywood or literature or God made you believe that love is enough. Because you don’t want to think about the possibility of a world in which it isn’t.




Repost this article (or diary?) from this amazing website and am really can't stop reading what they posts. Originally wrote by Mila Jaroniec.

13 Juni 2012

Surat dari seorang wanita yang duduk dipinggir coffee shop, melihat keadaan dari matanya yang tertutup kacamata kehidupan,

Sudah ribuan kali saya berpikir, mencerna, menimbang, dan belajar mengenai apa yang baik dan apa yang buruk dalam hidup. Saya tahu, sering kali sebagai wanita, saya banyak mengambil keputusan yang begitu cepat, tanpa pikir panjang, buru-buru. Namun tidak jarang, saya sering kali terlalu pikir panjang saat mengambil keputusan, sehingga itu jadi keputusan yang bantet.

Namun, keputusan adalah keputusan. Kalau ada orang yang berkata tidak membuat keputusan adalah bagian dari keputusan, dengan cepat saya akan menggelengkan kepala. Tidak membuat keputusan adalah bagian dari sifat pecundang, menurut saya.

Saya lebih baik membuat sebuah keputusan, walau salah, daripada tidak sama sekali. Walau pada akhirnya saya harus menjalani keputusan itu dengan berat hati, setidaknya saya berani memutuskan sesuatu. Sama seperti ketika akhirnya saya membuat keputusan untuk duduk pada sebuah layar laptop dan menuliskan ini.

Jujur mungkin bukan bahasa yang tepat, namun tidak jujur pun bukan kalimat yang berdiri benar.

Saya kali ini abu-abu, ditengah-tengah. Saya berusaha menjalani apa yang dinamakan denial in life, penolakkan dari diri sendiri yang sungguhan membuat saya lelah berdiri.

Anehnya, saya menolak segala hal yang baik yang datang kepada saya. Laki-laki yang baik, pekerjaan yang baik, hanya karena masa lalu yang menghantui dan belum sempat saya selesaikan.



....surat ini bahkan bantet ditengah jalan. Pikiran saya keburu lari ke subjek lain yang membuat segalanya menjadi buntu. Lebih baik saya sudahi, saya lanjutkan kalau akar pikiran saya kembali di tempatnya.

Sebuah Juni Bernama Bahagia

Seharusnya bersama denganmu adalah sebuah kebahagiaan dalam bentuk lain. Nyatanya, hati tidak pernah bisa dibohongi. Bahagia memang begitu sederhana, bahagia adalah soal pola pikir; namun kadang kala bahagia adalah juga soal kamu yang berada di sampingku.

Nyatanya, kamu adalah bentuk paradoks yang begitu kontraks. Bersamamu adalah bahagia ketika kamu juga adalah satu orang yang begitu menyakitkan untuk diingat. Kamu membuat seluruh keadaan tidak dapat menggantikan kebahagiaan yang datang dari dirimu. Dan kamu juga telah membuat seluruh aktifitas tidak bisa lagi dibawa jadi pelarian.

Mungkin aku bisa membohongi orang lain, tersenyum di depan mereka, mengatakan bahwa sejauh ini, semuanya terasa begitu indah. Namun begitu kamu sendiri, kamu tahu kamu salah, kamu tahu bahwa kamu adalah manusia paling munafik yang ada di muka bumi ini.

Kamu adalah seorang pembohong ulung.

Kamu tahu kamu hanyalah seseorang yang berlari dari kenyataan yang tidak ingin kamu singkap.

Namun sekali lagi bahagia adalah pola pikir, bahagia adalah sederhana.


***

Kali ini, melewati malam sendiri yang begitu sederhana, hanya dengan gelap lampu, dengan lagu yang begitu sendu mengalun dari Bon Iver, saya berpikir dan mencerna. Saya mulai merasa kehilangan arah. Saya mulai merasa terbang tanpa tujuan, saya merasa begitu munafik. Saya merasa kehilangan diri saya.

Kepada siapa saya bisa berbicara mengenai benar dan salah ketika ,emisahkan diri saya antara yang asli dan diri saya yang palsu saja sudah sulit sekali, sekarang ini. Saya ditekan keadaan yang saya buat sendiri. Seharusnya saya berhenti sebelum semua semakin racuh. Sebelum seluruh tenaga habis untuk berdiri menjadi diri yang bukan saya.

Namun saya tidak bisa. Kebahagiaan semu ini terasa begitu indah.

Saya tidak tahu kemana saya berlari, atau berjalan, sekarang.

Kenapa kamu bisa menciptakan tawa yang begitu imortal dan saya hanya bisa menciptakan kebahagiaan semu untuk diri saya sendiri? Begitu miris.

Hello, Goodbye!

Selamat atas kelulusannya! Me proud of both of you.


Equibilum

Setelah berlari cukup lama, akhirnya saya kembali di sini. Di titik nol. Equibilum. Ketika seluruh jiwa lelah diajak kabur-kaburan; dengan pekerjaan, dengan kuliah, dengan 'perbincangan' lewat dunia lain, dengan tidur.... ketika seluruh objek untuk lari dari kenyataan itu tidak bisa lagi mengalihkan saya dari kamu, ternyata saya hanya bisa tersenyum, tertawa.

Kamu ternyata ada batu yang diciptakan oleh semesta untuk saya. Batu yang tidak bisa saya hentak dari dalam diri saya.

Seluruhnya melebur dalam satu momen. Satu momen yang datang tanpa disengaja. Satu momen yang selalu saya syukuri keberadaannya. Satu momen yang indah untuk diingat, sakit untuk dikenang; sebuah transformik yang berbanding terbalik.

Satu momen yang dimulai dengan "aku kangen...." dan diakhiri dengan sebuah senyuman yang begitu indah dan menyejukkan.

Karena, ternyata, sejauh manapun saya berlari, kamu tidak kemana-mana. Kamu tetap berada di pikiran saya, di hati saya, di otak saya, di tempat yang sama. Tidak berjalan kemana-mana.

Ini yang dinamakan equibilum.

Titik awal.

Soal Kerelaan

Sahabat baik dan hubungan platonis mungkin adalah sebuah keadaan yang sering dialami oleh banyak orang; siapapun dengan kriteria memiliki sahabat baik berbeda jenis dengan rentang waktu hubungan yang cukup lama.

Saya pernah menulis ini, sekali, untuknya, disini, dimana mungkin dia sama sekali tidak pernah membaca itu.

Dan akhirnya, setelah perjuangan perjalanan yang lama dan berat, namun menyenangkan, saya--entah mendapat keberanian dari mana--bertanya kepadanya mengenai satu pertanyaan klise yang sudah lama ada di otak saya: mau dibawa kemana sebenarnya hubungan ini.

Sesungguhnya, sebelum saya bertanya, saya sudah tahu 100% apa jawaban dari itu semua. Jawaban yang berupa gelengan kepala, menyatakan bahwa ini hanya murni seluruhnya teman, atau mungkin, bukan waktu yang tepat untuk mengubah zona yang sudah terbentuk.

Saya mungkin hanya ingin kepastian, mengetahui perasaan apa yang sebenarnya ia miliki. Sampai akhirnya, saya menyadari bahwa ini akan jadi sesuatu yang tidak adil, untuk saya mungkin. Ketika dia dengan lantangnya berbicara bahwa ini semua akan seperti ini dan... as a boy.. "lihat saja kedepannya gimana kalau memang masing-masing berubah saat memiliki pasangan, so that's how we truly are, in the end."

Bodoh menurut saya, karena saya sendiri sudah bisa menebak akhir ceritanya seperti apa. Dan ketika pada akhirnya saya memutuskan untuk membuat hubungan ini jadi sedikit longgar, jadi sedikit belajar untuk tidak saling ketergantungan dengan satu sama lain, lalu dia berkata... "saya harus rela, kita harus rela...." akhirnya airmata itu menitik, menderas, dan saya berusaha setengah mati untuk menahan itu dan terbata menjawab pertanyaannya dengan satu kata iya.

Rela dan tidak rela.
Ingin dan tidak ingin.
Mau dan tidak mau.

Dan anehnya, setelah pembicaraan di telepon ditutup, saya reka-reka dan ulang-ulang lagi pembicaraan antara kami berdua, saya kembali menangis. Relakah saya? Sungguh relakah saya mengambil ini semua demi rasa takut akan kehilangan dia... di akhirnya nanti? We just friend, but how it looks so hard? Dan saya menangis, lagi, kali ini lebih keras dari dua tangis sebelumnya.

Rela mungkin adalah proses, proses untuk kembali mau berdiri pada posisi yang tidak kita inginkan. Rela menjalani hal yang tidak enak, demi kebahagiaan kedepan masing-masing. Rela untuk sendiri, melepas seseorang yang mengenal kita jauh dari kita mengenal diri sendiri. Rela untuk belajar sendiri.

Rela adalah ketika seluruh tubuh berkata tidak pada keputusan yang dibuat, namun di akhirnya nanti, pada kenyataanlah kita harus menyerah.


Foto: Film 'Before Sunset'

Define The Happiness



Like what Alodita said in her post about happiness, I've been read it and feel like... 'well, she's true.'

Define the happiness is a simple thing (well, I'm trying to make it easier for me). Semisal, betapa senangnya saya (akhirnya) bisa go back nature walau hanya mentok di Cisarua. Atau, ketika bagaimana saya bisa melihat komposisi hujan, gunung, dan paket keluarga yang lengkap. Bahagia ternyata sesimpel dan sesederhana (dan secepat) itu ya...

Back To My Childhood, Taman Safari

Back to childhood and camera. Perfect combination ever for long holiday with no plan.