Bye, 2012 (I'm Glad We Ever Met) ...


"Karena memori ... Sesungguhnya ia terbang sebebas gas di udara. Kadang kala itu mengenai kita. Memori tidak pernah terhambat. Kadang kala, hanya kita yang tidak ingin melepas itu."


4.20.38 dan akan terus mengetuk, lalu membangunkan semua manusia dari tidur pagi di sebuah tanggal 1 Januari 2013. Atau mungkin ada yang tidak tertidur dan memilih menghabiskan sisa malam bersama dengan orang yang mereka anggap penting. Tidak masalah. Seluruh keputusan untuk sehari ini dianggap masuk akal.

------

2012.

Ada banyak hal terjadi, banyak pembelajaran, banyak kesalahan, dan banyak segala banyak yang berakumulasi menjadi sebuah pengalaman perjalanan hidup yang begitu menyenangkan. The journey of life. Saya pernah berpikir, mau kemana hidup ini dibawa pada akhirnya. Jawabannya adalah, bukan soal "destinasi terakhir" melainkan perjalanan menuju destinasi itu.

Kencangkan sabuk pengaman lalu nikmati perjalanan dengan segenap cinta yang ada. Atau kalau sedang ingin menguji andrenalin, ulurkan sabuk pengaman, dan nikmati dengan sedikit hormon yang meningkat. Pilihan dianggap masuk akal, tidak ada yang salah atau benar.

Dan untuk sebuah perjalanan di tahun 2012 yang begitu menyenangkan, ada beberapa momen indah yang begitu terkenang di ingatan. Sebuah momen yang tidak selama menyenangkan, namun tetap dimasukkan ke dalam kategori indah -- karena semua indah pada waktunya, bukan?

Jadi untuk pertemuan dengan seluruh perjalanan di tahun 2012, saya bersyukur. Baik, buruk, menyakitkan, menyenangkan, semuanya adalah sebuah anugerah yang tidak bisa diberhentikan ketika seorang manusia memutuskan untuk menjalani hidupnya secara benar.

Goodbye 2012, thank you for the journey and I'm glad that we ever met. Surprise me, 2013!

Natal di Sebuah Coffee Shop Favorit

Di sebuah coffee shop favorit, kami berbagi cerita. Dari ketidaktahuan menjadi rasa tahu yang begitu tajam diterjemahkan lewat kata-kata atau gerak tubuh. Penolakan demi penolakan yang berujung pada penerimaan. Ini cerita Natal di sebuah coffee shop favorit.

Saya mengenal banyak orang dalam proses perjalanan dua puluh satu tahun hidup. Ada yang menyenangkan, ada yang menyedihkan, ada yang membuat hati ini terasa begitu perih; dimana seluruh kehadiran elemen mahluk hidup bernama manusia ini saya syukuri keberadaannya.

Namun, untuk penutup tahun yang begitu menyenangkan, saya kembali ditegur oleh seorang sahabat lama, berbatas dengan Americano dan Frappucino milikinya. Kami memang berbagi banyak hal di hari yang kebetulan juga adalah Natal; dengan buku "Life Traveler" karya Windy Ariestanty dan dengan Majalah Asri terbaru.

Pembicaraan itu terhenti di sebuah titik yang tidak menyenangkan bagi saya. Tidak menyenangkan karena saya tidak mampu mendeskripsikan apa yang ada di dalam hati saya dan hanya digantikan dengan mata yang berair menahan segala kata yang tertahan di pikiran.

"Kamu sesungguhnya sama saja dengan mereka yang berlaga baik-baik saja, padahal di dalam kamu itu sudah perlu dibetulin," ujarnya sambil menunjuk bagian tubuh yang (katanya) tempat hati dan perasaan berkumpul.

Saya diam. Air mata ini mengambang di pelupuk. Saya tidak mau mengeluarkannya, apalagi meningat saya ada di tempat umum. Saya malu. Saya aduk-aduk Americano yang sesungguhnya sudah tidak perlu diaduk-aduk, saya mencari cara supaya tangan ini beraktifitas dan mata ini menunduk ke bawah.

"It's okay to be not okay.... Kamu yang ngajarin ini ke banyak orang kan? Meanwhile you are not okay but you act, you trying so hard, to be okay."

Pembicaraan ini terpicu karena teman baik ini miris melihat saya dan salah satu prinsip hidup mengenai "manusia ada dan bersama hanya untuk saling menyakiti, pada akhirnya" dimana menurut saya ini benar dan menurut dia ini terlalu antagonis.

Seluruh pembicaraan terputar dan saya sampai di bagian buntu dan hanya jadi pendengar. Americano sudah habis, begitu pun dengan Frappucino miliknya. Kami akhirnya diam dimakan kata-kata yang sudah mentok dikeluarkan. Lebih tepatnya, dia yang diam, karena saya sudah diam dari awal pembicaraan ini dibicarakan.

Satu kata keluar dari mulut saya, "I never expect my Christmas gonna be that hard. I know you are right, I just don't want to admit it and think how broken I am. It's gonna cost me so much time and I don't want to spend the rest of 2012 to think about it."

Ia terdiam. Pun dengan saya.

"You need to recovery yourself. Soon," ujarnya.

Saya mengangguk, lalu diam. Pun dengan dia.

Tidak lama kemudian, mungkin lelah dengan jeda hening diantara kami berdua, dia berdiri. Saya bertanya mau kemana dan ia menjawab mau memesan kopi lagi. Saya ikutan memesan Americano kembali, kini dengan tambahan scone. Kami butuh asupan makanan. Otak ini sudah dibawa berputar-putar saat Santa Claus berputar memberikan hadiah.

Setidaknya, kami berbagi di hari Natal, dari hati ke hati. Dan kepercayaan bodoh saya berkata bahwa ia mengerti maksud dari seluruh airmata dan gerakan absurd yang saya keluarkan karena tidak bisa berkata-kata lewat bibir.

Kepercayaan bodoh yang mengatakan, walau tanpa kata-kata, ia mengerti.

:')

it takes time to believe in something
but it only one word to break it up
long time, short time
broke at first, you find yourself in the middle of dark den
couldn't move
only stares at the den's buttress
find the possibilities about this uncanny feelings

it do take time

it takes many long time to believe again in something
but it only one word to break it up
more long time, more short time
broke at second, you laugh at yourself
couldn't stop
only ask why life can be that mean to you
to tell you not questioning what you already believe
in such that way

and the thing you know after that

you not questioning again your believe
you accept the way is it
with more creed

Why Be Happy When You Could Be Normal?

Truth for anyone is a very complex thing. For a writer, what you leave out says as much as those things you include. What lies beyond the margin of the text? The photographer frames the shot; writers frame their world. Mrs Winterson objected to what I had put in, but it seemed to me that what I had left out was the story’s silent twin. There are so many things that we can’t say, because they are too painful. We hope that the things we can say will soothe the rest, or appease it in some way. Stories are compensatory. The world is unfair, unjust, unknowable, out of control. When we tell a story we exercise control, but in such a way as to leave a gap, an opening. It is a version, but never the final one. And perhaps we hope that the silences will be heard by someone else, and the story can continue, can be retold. When we write we offer the silence as much as the story. Words are the part of silence that can be spoken. Mrs Winterson would have preferred it if I had been silent. Do you remember the story of Philomel who is raped and then has her tongue ripped out by the rapist so that she can never tell? I believe in fiction and the power of stories because that way we speak in tongues. We are not silenced. All of us, when in deep trauma, find we hesitate, we stammer; there are long pauses in our speech. The thing is stuck. We get our language back through the language of others. We can turn to the poem. We can open the book. Somebody has been there for us and deep-dived the words. I needed words because unhappy families are conspiracies of silence. The one who breaks the silence is never forgiven. He or she has to learn to forgive him or herself. (Jeanette Winterson)

I'll Be Home For Christmas




Rascal Flatts sedang sering bernyanyi-nyanyi di iTunes lewat lagu "I'll be home for Christmas... You can count on me..."

Tanpa jeda, lagu ini terus menerus mengalun dengan begitu indah sembari saya mengerjakan proyek-proyek kantor sebelum akhirnya masuk ke fase libur panjang. Satu terlintas di otak ini: semoga "rumah" yang selalu saya datangi kembali untuk pulang bukanlah rumah yang salah. Semoga saya berada di rumah yang benar. Itu doa seumur hidup saya.

Happy (near) holiday!