Mencinta Bayangan

Beberapa minggu belakangan, ritme menulis saya terlihat menarik. Menarik karena berbeda dari waktu-waktu sebelumnya. Mengapa? Karena saya merasakan bahwa eager untuk menulis terasa begitu berbeda.

Tidak perlu ditanya mengapa.

Kalau banyak yang bilang, patah hati menghasilkan royalti, saya adalah salah satu orang yang percaya, menulis yang terbaik adalah (juga) ketika seseorang sedang merasakan jatuh cinta. Betul, jatuh cinta.

Saya sedang merasa jatuh cinta. Bukan pada hujan. Bukan pada mendung. Bukan pada kegiatan alam lainnya.


Saya jatuh cinta pada seseorang yang saya kenal hanya selintas bayangan. Seseorang yang nyata dengan punggung begitu tegap dan cara berbicara yang menyenangkan, namun tidak pernah bisa saya tepuk punggungnya hanya untuk berucap salam.

Pada momen ini juga, akhirnya saya mengerti perasaan wanita dalam salah satu kisah omnibus "Rectoverso" berjudul Hanya Isyarat. Rasa ketika ia hanya bisa memandang punggung laki-laki itu dan hanya bisa memberi isyarat cinta lewat udara.

Pada sebuah mendung di waktu 2:40 sore, dengan sebuah kopi pahit dan materi mengenai Tugas Akhir yang belum tersentuh, serta sebuah lagu yang sudah berminggu-minggu saya dengarkan tanpa dihempas rasa bosan.

Saya tidak bisa menghindar; saya mengingat bayangannya.

Bayangan yang masih tergambar begitu jelas. Punggung, tas ransel, rambut hitam, warna kulit .... seluruhnya masih ada di memori kepala ini secara begitu kuat, lekat, dan tidak bisa saya hilangkan. Bayangan itu seperti terkristal.

Saya ingat ketika punggung dan tas ransel begitu dekat dari jangkauan tangan saya. He is so close yet so far away. Punggung itu tidak bisa saya sentuh sedekat apapun jaraknya. Mengapa? Entah. Mungkin karena itulah saya menyebutnya dengan bayangan.

Saya mencintai, namun tidak mampu menjelaskan segala rasa padanya.
Saya sebenarnya tidak ingin merasakan atau memikirkan ini terlalu dalam. Tetapi untuk kali ini, momen yang datang terlalu indah untuk terhempas begitu saja. Saya akhirnya mampu menikmati hujan dalam kesendirian yang menyenangkan.

Dan kemunculan bayangannya dalam kepala ini adalah sebuah akibat yang wajar.

Saya rindu dia. Saya rindu berbicara dengan dia. Saya rindu mendengar ia berbicara mengenai sesuatu yang tidak saya mengerti. Saya rindu mendengar rencana-rencana dia mengenai hidupnya. Saya rindu menghirup udara bercampur asap rokoknya.

Saya rindu ..... sayang, rindu ini tidak pernah ia ketahui keberadaannya karena ia hanya sebatas bayangan. Ia nyata, akan tetapi, ia adalah bayangan untuk saya dan cinta saya.



Starbucks 3:28 PM, Tangerang .... 
(Tepat ketika ini selesai ditulis, hujan tidak jadi turun dan awan hitam mulai kembali digantikan dengan awan terang. Ini seperti pertanda kalau mungkin ia akan benar-benar hanya menjadi bayangan untuk saya. Tidak apa-apa. Saya tetap menikmati rasa ini.)

No comments: