Fast & Furious 6: They Always, Always, Always, Got The First 10 Minutes



Saya adalah pencinta, bahkan mungkin bisa dikatakan fans berat, dari movie franchise Fast & Furious. Seluruh filmnya secara rutin saya tonton mulai dari sekuel pertama bahkan sampai film-film pendeknya di Youtube. Saya masih ingat, film ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang teman yang juga hobi kebut-kebutan dijalan, dimana film Fast & Furious pertama yang saya tonton adalah Fast & Furious: Tokyo Drift.

Tidak terasa, sejak kemunculan The Fast & The Furious di tahun 2001, movie franchise ini bertahan hingga nomor ketujuh selama delapan tahun ke depan. Menariknya, disekuelnya yang keenam ini, Fast & Furious 6 berhasil menjadi box office movie dengan perolehan total $122M, mengalahkan movie franchise The Hangover III ($ 51M) serta Star Trek Into Darkness ($ 48M) hampir dua kali lipatnya.

Tidak dipungkiri, menurut pendapat saya, sekuel Fast & Furious ini sungguh memenuhi ekspektasi. Antara trailer film yang diberikan dengan keseluruhan film nampak serasi; tidak kurang dan tidak berlebih. Tepat pada porsinya.

Bahkan dalam sepuluh menit pertama, film ini tidak sedikitpun memberikan saya kesempatan untuk bernafas. Opening credit yang diakhiri dengan berdirinya pemain-pemain utama dari film ini terasa memorable di kepala. Ditambah dengan adegan-adegan menarik dan lemparan-lemparan dialog antar karakter yang membuat kepala saya seperti ikut berada bersama mereka.

Dan berbicara mengenai karakter, setiap aktor/aktris terlihat sangat menyatu dengan karakter mereka, sehingga hawa antar karakter begitu terasa. Katakan saja bahwa Vin Diesel berperan sangat baik menjadi laki-laki persisten yang cinta keluarga, atau Ludacris yang sangat baik memerankan karakternya sebagai si perakit pintar. Namun nilai tambahan saya berikan untuk Tyrese Gibson yang mampu memerankan karakternya secara tepat dan berkembang tanpa menghilangkan nilai-nilai seorang Roman. Walau untuk kali ini, Gibson murni saya tempatkan hanya sebagai pelawak. Tidak ada adegan menarik dan krusial yang membuat nilainya bertambah melebihi pelawak.



Saya yakini itu tidak lepas dari bagaimana Justin Lin dan kedua penulisnya, Chris Morgan untuk screenplay dan Gary Scott Thompson untuk characters. Sungguh salut dengan gabungan kerja antara Morgan dan Thompson yang mampu membuat dialog-dialog antar karakter semakin hidup, sehingga saya bisa merasakan setidaknya setengah dari koneksi antar karakter. Saya bisa merasakan cinta yang besar antara Han (Sun Kang) dan Gisele (Gal Gadot) dari gerak tubuh keduanya serta dialog yang terjadi antara mereka.

Dialog favorit? "You don't turn your back on family, even they do."

Keseluruhan, saya cukup terpuaskan dengan Fast & Furious 6 walau ada satu bagian yang menurut saya sangat impossible terjadi saat tank scene. Adegan ini pada akhirnya menganggu dan terputar-putar di kepala saya sampai pada akhir film, membuat esensi nyata pada film ini berkurang tiga puluh persen.

Menurut saya, formula lebih dari ganda sehingga film ini bisa mencapai $ 122M di minggu pertama pemutarannya adalah penggabungan banyaknya aktor handal dan berbadan kekar sempurna serta aktris seksi dan latina. Penggabungan yang mampu menarik kedua sisi market, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka bisa terpuaskan ganda bukan hanya dari sisi cerita, tetapi juga dari pandangan mata di depan layar besar selama 130 menit.

Tidak bisa dilupakan penampilan Joe Taslim pada The Raid dan Fast & Furious 6. Laki-laki terlihat berbeda dan lebih menarik karena fisiknya yang menjadi sedikit Hongkong-ish. Dari appearance yang mendekati Jet Li, mengutip dari Twitter Mahir Pradana, mungkin kalimat 'hajar dia!' yang keluar dari mulutnya adalah kata-kata baru dari 'seize the day' yang akan dilontarkan banyak wanita Amerika.

Kesimpulannya, saya rasa untuk sebuah movie franchise, Fast & Furious 6 bisa dikatakan berhasil. Permasalahan yang berikutnya muncul, seberapa berhasilkan Fast & Furious 7 yang sudah memberikan clue mengenai kemunculan Jason Statham sebagai penjahat? Another BIG star again, eh? I really am, can't wait.


(Ribka Anastasia Setiawan)
3.8 stars from 5 stars.

Rumah


Sayangku,
Ketika masa akhirnya membawa kita kepada titik akhir bernama kelelahan atas pertanyaan-pertanyaan egoisme, maukah kau maafkan segala ketidakmampuan mulut ini untuk membuka suara dan berkata seluruh kejujuran yang hanya tertanam dalam jiwa?

Ketika seluruh logika dan raga mengerti bahwa kamu adalah rumah yang selama ini kucari namun ketakutan akan pengulangan masa lalu terasa lebih mendominasi, sayangku, relakah kamu berdiri bergeming dan menunggu sampai keberanian itu muncul?



Karena, sayangku,
Kamu adalah rumah yang selama ini terbayangkan di dalam kepala. Sebuah imajinasi mengenai cukup dan aku sungguh merasa cukup.
Namun sampai saatnya tiba nanti, sampai Yang Diatas mengizinkan waktu berada di sisi kita, maukah kau menunggu?

About The Daylight Project



Actually it's not my first time seeing the video. But this time, in the middle of new coffee shop near my home, I cry. Literally cry.


The Daylight Project adalah sebuah proyek yang datang dari Adam Levine, vokalis band Maroon 5 untuk membuat sebuah video from all over the world. Lagu Daylight sendiri dipilih karena dianggap memiliki nilai penting untuk Maroon 5, yang juga adalah 3rd single dari album Overexpose.

Idenya menarik, karena dalam sekitar dua belas video #CallOut Daylight Project ini, Adam selalu menegaskan mengenai love yourself. Atau berbicara apapun mengenai diri masing-masing. Ada satu hal menarik yang Adam sempat sebutkan dalam salah satu video #CallOut Daylight Project:

No matter what you do, as long as you do it.

Kira-kira beberapa bulan lalu, saat pertama kali video ini keluar di Youtube, saya yakin 100% bahwa saya tidak semelankolis ini saat melihat videonya. Namun nampaknya kali ini agak berbeda dan saya yakini memang murni karena saya baru mengerti makna dari video ini.

Saya melihat bagaimana banyak orang, dari berbagai budaya dan kebangsaan, perempuan dan laki-laki dari berbagai umur, memiliki 'kisahnya' masing-masing. Kisah yang mungkin sebagian orang nilai dengan label tidak penting, berubah nilai menjadi penting karena ... well, life in someone else's shoes and you'll know what it feels.

Empati mungkin yang ingin dilemparkan ulang Adam Levine lewat proyek ini. Dan The Daylight Project sukses membuat saya mengkaji ulang kembali empati itu.

Saya yang sedari kecil sudah berteman dekat dengan kebebasan memilih dalam hal apapun tentu tidak bisa memahami sepenuhnya perasaan seorang wanita Timur yang tidak memiliki kebebasan untuk memilih; sekecil apapun pilihan itu.

Saya yang sedari kecil selalu beruntung dalam memilih teman, bahkan kini memiliki teman-teman yang menerima saya apa adanya selayaknya keluarga kedua, tentu tidak mengerti bagaimana perasaan seseorang yang selama hidupnya tidak pernah tahu nilai dan kredibelitas seorang teman/sahabat.

Saya yang belum menjadi orang tua tentu tidak tahu bagaimana perasaan seorang Ibu saat mengetahui anaknya adalah gay. Bukan hanya persoalan sulit menerima, melainkan lebih kepada membayangkan apa yang dilakukan kaum mayoritas terhadap anaknya yang masuk ke dalam kaum minoritas.


-----


Menghadapi esok hari adalah hal yang paling tidak mampu diprediksi, pun dengan masa depan. And worrying  about future just screws stuff up, so I choose to pray and give the rest to God. Klise? Mungkin. Tapi ada kepercayaan dalam hati saya yang mengatakan bahwa kekuatan Maha Besar itu mampu menampung perasaan yang tidak pernah terefleksi dan kata yang tidak pernah terucap.

And please, whoever read this, who's struggling for anything, remember you're loved. You don't deserved any pain, and more importantly, it's okay to be not okay as long as you know, at in the end everything will be alright.


Happy Thursday!

Badminton: Dari Nonton Bareng Djarum Indonesia Open Sampai Olahraga Bareng

Saya adalah salah satu tipe orang yang cenderung malas berolahraga. Olahraga yang 'mentok' saya lakukan adalah push-up dan sit-up di dalam kamar sambil mendengarkan lagu-lagu up beat untuk boost up semangat saat sedang late workout itu.

Namun belakangan, melihat banyaknya anak-anak muda yang memiliki kolesterol tinggi, terkena serangan awal penyakit jantung, stroke ringan, serta banyak komplikasi penyakit lain yang seharusnya belum dikenal tubuh seusia mereka, saya memutuskan, salah satu resolusi 2013 adalah menjalani pola hidup sehat salah satunya dengan berolahraga minimal 150 menit per minggu. (infonya dari sini)

Menariknya, seperti sebuah magnet, pada awal-awal 2013 tanpa sadar saya sudah mulai melakukan pola olahraga minimal 150 menit per minggu itu. Entah dimulai dari kapan, mendadak setiap Rabu malam, saya bersama teman-teman satu komplek mulai melakukan olahraga rutin selama kurang lebih dua jam, mulai pukul delapan malam sampai sepuluh malam.

Ada pilihan-pilihan olahraga yang menjadi kandidat seperti futsal, badminton, basket, atau tenis. Namun pada akhirnya, pilihan jatuh kepada badminton yang memang lebih fleksibel dan user friendly, artinya, bagi mereka yang baru pertama kali bermain, tidak begitu sulit untuk beradaptasi.

Jadilah setiap pertengahan minggu, saya selalu menyempatkan diri untuk ikutan ke badminton club ini. Hitung-hitung buang lemak sambil mengakrabkan diri dengan sesama teman.

Seiring berjalannya waktu, karena rutin seminggu sekali bermain badminton, saya jadi punya ketertarikan khusus dengan bidang olahraga ini. Mengapa? Selain karena tidak perlu lapangan khusus (saya biasa main dengan Ayah di teras rumah), olahraga ini juga punya struktur permainan yang mudah dimengerti.

Ketertarikan khusus ini membuat saya jadi hobi sekali melihat-lihat sport equipment untuk badminton. Namun untuk membeli, saya masih punya pertimbangan-pertimbangan khusus, seperti referensi dari teman soal kualitas dan harga yang dibandrol. Namun ketertarikan ini tidak bisa saya aplikasikan dengan lebih lanjut karena aktivitas kuliah dan freelance yang menyita waktu sehingga tidak punya kesempatan untuk window shopping di sport store.

Untungnya, dari blog Sitta Karina, saya tahu ada satu online website berbasis layanan social commerce bernama Blibli.com yang menghadirkan banyak pilihan produk untuk dibeli secara online, salah satunya produk-produk Indoor Sport Equipment. Menariknya, pada saat baca-baca review di Twitter soal situs ini, banyak sekali respon positif yang masuk.

Berbasis review inilah saya coba untuk melihat sport equipment untuk badminton (yang pada akhirnya, saya malah melipir ke bagian-bagian lain). Ada satu produk raket yang membuat saya tertarik dan akhirnya saya beli sebagai hadiah ulang tahun untuk Ayah; serta satu produk ankle support yang pun saya beli sebagai hadiah untuk adik saya. Harganya terjangkau dan layanannya cepat -- tepat seperti review-review yang sebelumnya saya baca.

Kemudian, di Rabu esok minggunya, saat sedang break bermain badminton, saya bercerita kepada teman-teman mengenai mudahnya memberi barang di Blibli.com. Tidak perlu jalan, hanya tinggal browsing di laptop atau PC masing-masing, transfer, dan barang akan langsung datang di depan pintu rumah.

Saya ingat, ketika pembicaraan berlangsung, yang tersisa di pinggir lapangan hanya tinggal saya dan empat orang teman lain. Kita semua masuk kedalam batch pertama untuk bermain dan sekarang sedang bergantian lapangan dengan yang lainnya. Ditengah pembicaraan mengenai Blibli.com ini, seorang teman saya nyeletuk, "sekarang mainnya si X jadi jago, loh. Staminanya kuat lagi."

Kami semua refleks melihat ke objek pembicaraan, melihatnya sedang bermain ganda putri bersama tiga orang lainnya. Memang saya akui, rutinitas bermain badminton setiap minggu membuat saya dan teman-teman lain yang awalnya tidak begitu bisa badminton jadi lumayan mahir. Tidak jago, namun setidaknya, tahu bagaimana mengejar "bulu ayam" yang terbang di atas kepala.

"Untung yah, kita pilihnya olahraga badminton." Seorang lain berkomentar.

Akhirnya, di pinggir lapangan, kami berlima jadi bernostalgia mengapa badminton menjadi pilihan olahraga kami. Selain karena alasan-alasan badminton user friendly dan fleksibel, ada satu momen yang saya yakin menjadi salah satu momen mengapa badminton menjadi olahraga rutin diantara kami.

Adalah Djarum Indonesia Open di tahun 2012 yang membuat kami menemukan bond tersendiri dengan badminton. Saya masih ingat kehebohan-kehebohan menonton pertandingan demi pertandingan bulu tangkis, linimasa di Twitter yang dipenuhi dengan ucapan selamat (apabila senang karena menang) dan makian-makian (apabila marah karena kalah), serta diakhiri dengan nonton bareng saat Simon Santoso membawa pulang piala sebagai Juara Tunggal Putra.

Mungkin itulah satu dari sekian belas alasan mengapa dari sekian banyak olahraga, badmintonlah yang memenangkan voting maya dan menjadi olahraga rutin saya dan teman-teman. Selain juga, bidang olahraga badminton adalah salah satu bidang yang sudah membawa harum nama Indonesia di kancah internasional, sehingga bisa dikatakan sebagai salah satu olahraga kebanggaan bangsa Indonesia.

Namun apapun alasannya, setidaknya, salah satu resolusi saya di 2013 telah terealisasi: menjalani pola hidup sehat. Lebih baik terlambat memulai, daripada tidak sama sekali, kan?

Analogi Rasa

kalau tubuh ini melemas
dan raga tak lagi menyatu dengan jiwa
sudikah kau hampiri satu sumber
yang menjual segala ada
dan mencari tubuh pun raga pengganti?

kalau mulut ini mengatup
dan hati tak lagi sehangat waktu-waktu sebelumnya
relakah kau datangi satu sumber
yang menjual segala ada
dan mencari mulut pun hati pengganti?

dan
kalau segala cara sudah terlaksana

namun
aku masih menjadi patung
membeku karena keabnormalan dunia
relakah kau duduk bergeming
dan memegang tanganku
tanpa sepatah kata pun?

akankah kau bosan
dengan segala jenis kehampaan suara
diantara kita?

Cinta Sederhana Ala Mouly Surya Dalam What They Don't Talk When They Talk About Love

What They Don't Talk When They Talk About Love atau yang bisa dengan mudah disingkat sebagai Don't Talk Love adalah karya sineas film yang vakum selama 4 tahun lebih, setelah sebelumnya menjadi sutradara terbaik untuk film "Fiksi" di FFI 2008, Mouly Surya.


Apa yang mau digambarkan Mouly lewat film ini cukup simpel yaitu berusaha memberitahu bahwa dunia orang-orang berkekurangan (difabel) juga bisa memiliki dunia seperti kita, manusia yang diberikan kepercayaan dari Yang Diatas untuk memiliki fungsi tubuh baik. Dan tidak selamanya, hidup dengan keadaan berkekurangan adalah sebuah ketidakindahan.

"Don't Talk Love" memiliki setting sebuah Sekolah Luar Biasa, dimana saya pribadi sangat jatuh cinta dengan ambience yang terdapat di sekolah ini. Begitu hijau, homey, namun tetap terasa sederhana. Di sekolah ini, anak-anak berkebutuhan khusus menghadiri kelas, mereka bersosialisasi, mendengarkan cerita radio (adegan tiga menit yang sangat brilliant, menurut saya), dan mereka bahkan jatuh cinta. Mereka bertingkah selayaknya orang-orang tanpa kebutuhan khusus.



Ada Diana (Karina Salim) yang memiliki kemampuan melihat jarak sangat dekat sehingga harus menggunakan teropong sebagai alat bantu, kemudian jatuh cinta pada seorang laki-laki tuna netra yang tinggal di sebrang kamarnya.

Pun juga, Fitri (Ayushita) yang sudah 'melek cinta' terlebih dahulu daripada Diana, dimanfaatkan oleh pacarnya, dan kemudian jatuh cinta dengan seorang bisu dan tuli bernama Eko, yang diperankan sangat baik oleh Nicolas Saputra. Diana serta Fitri juga teman-teman sekeliling mereka berusaha menikmati hidup ditengah keterbatasan mereka sebagai kaum difabel.

Menariknya lewat film "Don't Talk Love" ini, Mouly Surya sukses membuat penonton berhenti untuk 'berkasian' dengan kaum difabel. Tidak hanya itu, ia juga sukses memberikan 'hawa' kenormalan dari kaum difabel, penuh cinta, penuh rasa, penuh sensitifitas, yang tersampaikan lewat cara mereka masing-masing.



Film ini, menurut saya, adalah sebuah film yang menyentuh jiwa secara lembut; bukan pikiran, bukan logika, bukan soal 'plotnya seperti apa sih?' Jadi, mari sejenak lupakan soal plot film atau bagaimana cerita digarap lewat norma-norma keabsahan normal, kemudian nikmati dengan menjadi Diana yang melihat hanya sedekat dua sentimeter dari matanya, atau Fitri yang mampu disentuh hatinya lewat surat-surat sentimentil untuk Nicolas Saputra.

Apabila anda mampu menjadi penonton berjenis seperti ini, sungguh anda bisa merasakan mengapa "Don't Talk Love" masuk ke dalam nominasi di Sundance 2013.

Satu hal penting yang menjadi titik-balik film ini adalah ketika Mouly menggambarkan keadaan mereka menjadi 180 derajat terbalik dari keadaan yang sesungguhnya. Apakah itu (sesungguhnya)akan menjadi lebih baik? Apakah menjadi manusia tanpa kebutuhan khusus, yang awalnya adalah impian, merupakan keadaan terbaik untuk mereka?

Mouly memberi jawabannya di What They Don't Talk When They Talk About Love.



Satu hal penting yang wajib saya tulis sebagai pengingat masa depan adalah ucapan terima kasih yang tidak terhingga untuk Mouly Surya atas adegan-adengan yang cukup memuaskan mata ketika setting Nicolas Saputra dan Ayushita di therapy pool. Mengapa? Karena ini adalah mimpi seumur hidup melihat Nicolas beradegan seperti itu.


(Ribka Anastasia Setiawan)
4.2 stars from 5 stars.

(Image Sourcc: Mobi)