ARTE Jakarta 2013, Not Just Ordinary Art Festival

BALAI SIDANG JAKARTA, JAKARTA Industri seni, mungkin adalah sebuah industri yang memiliki perkembangan paling pesat di era moderen ini. Ungkapan The Rise of Creative Class berkembang menjadi sebuah kelas ekslusif menjadi sebuah kenyataan, yang mirisnya, tidak diketahui secara pasti oleh individu yang berkecimpung di dalam formulasi seni itu sendiri.

Bukti nyata bahwa industri seni berkembang menjadi sebuah industri yang mampu menjaring banyak khalayak ramai adalah dengan munculnya berbagai festival seni. Regulasinya cukup bebas, entah bisa seni murni atau seni terapan.

Festival ARTE 2013 bisa dikatakan menjadi salah satu festival terbesar di Indonesia yang sukses meraih atensi masyarakat luas, baik yang memang dekat dengan seni atau hanya penikmat. Berlangsung di Balai Sidang Jakarta, selama tiga hari sejak 29 Maret sampai dengan 31 Maret 2013, ARTE sukses menggabungkan berbagai ragam seni ke dalam satu festival besar, mulai dari Performing Arts, Culinary Arts, Visual Arts, Film Festivals, Art Market, sampai dengan Music Performance.


Seni yang kini berkembang menjadi seni kontemporer disajikan ARTE 2013 secara cermat dan tepat. Pilihan-pilihan karya yang dipilih serta pemusik yang tampil menjadi salah satu rangkaian acara ARTE bisa dikatakan jauh dari kata mainstream, seperti Payung Teduh, Pure Saturday, White Shoes and The Couples Company. ARTE seperti ingin memperkenalkan seni dengan bentuk baru; tidak melulu yang menarik di tangkap mata, namun juga membuat kita sebagai seorang manusia yang diberikan kemampuan berpikir mencoba mencerna maksud yang ingin disampaikan oleh hasil seni itu sendiri.

Tidak menangkap maksudnya atau terasa bias? Mungkin benar, seni bukanlah sesuatu yang dekat dengan kata logis. Seni adalah ungkapan murni penciptanya mengenai sesuatu, dimana tidak pernah ada seorang pun yang mampu menangkap secara pastitanpa biasapa yang ada di dalam pikiran manusia lain.


Ini adalah tahun pertama Festival Seni ARTE digelar, dimana menurut Ayu Vibrasita selaku ketua acara, persiapannya cukup terburu-buru. Pendapat yang menganggap ARTE mengecewakan cukup banyak masuk ke telinga, namun buat saya, bukanlah persoalan bagus atau tidaknya.

Dengan adanya sekelompok anak muda yang mau berbagi waktu dan ide untuk melestarikan seni kontemporer pada zamannya sudah cukup membanggakandaripada tidak berbuat apapun. Setidaknya, selama tiga hari itu, seni memberikan pengalaman menarik di masing-masing orang yang datang ke ARTE.

(Ribka Anastasia Setiawan)

If Heart Could Choose....


If heart could choose who to loves, probably it doesn't need to be broken again. Just coldly stare in people's life (and love) without emotion. Wait. I remember something. If my heart could choose who to loves, the fact is, I still choose you. You even never be in my option list. It's a natural thing that possibly happens: you and me.

Date A Girl Who Writes



Date a girl who writes because she will be able to recall in detail the dialog between you two, and while it gets you in trouble, it’s endearing and sweet at the same time that she remembers. This also forces you to choose your words carefully and you will become an expert in diction.

Date a girl who writes because she understands the complexities of characters, and knows you are more than your successes, failures, winnings, or losses. She loves all the layers of you, all the deep parts and even the shallow. When you are acting like the villain, she will see the goodness in you. When you are the hero, she’ll still secretly admire your flaws. All the depths of you become her big adventure.

Date a girl who writes because she will give you the most beautiful settings you’ve ever seen. She writes about the paradises she imagines, the paradises she has been to, and shares them with you.

Date a girl who writes because sometimes a little silence is welcome.

Date a girl who writes because the post-it on your refrigerator reminding you to buy milk will be original and full of adorable metaphors. And because she is so creative, she’ll put the post-it in your shoe rather than on your fridge.

In the fairy tale that is your life together, she will always make you prince charming, and happily ever after is a guarantee.

Date a girl who writes because when the poetry dies, she will make sure her prose keeps you alive.

Date a girl who writes because she understands the value of word choice, and will mean everything she says to you.

Date a girl who writes because she will ask you interesting things like “What does your name mean?” so that she may use it in a book someday. Not to mention you get to have a better understanding of yourself when you Google your own name.

She’s always looking for the page-turner, which becomes quite exciting for you.

The storyline will never have to end. She will write all the sequels that keep your love breathing. And just so that you remember all the things you love about her, she’ll make sure to include prequels too.

You’ll never have to worry about dementia, amnesia, or Alzheimer’s in your later life. She has already written out your story so that you may remember each other forever.

Buying gifts for her is oh-so-simple because she knows the incredible worth of a pen and paper.

She’ll write you emails because the laptop is her friend, but prefers to show you how she cares by painstakingly writing you pages upon pages of letters when you two are separated.

Date a girl who writes because she can take criticism and turn it into wit, disappointment into accomplishment, and sadness into laughter with the wave of her pen.

Sex is like a dirty, raunchy romantic novel you don’t dare read in public.

She will spend her life coming up with a thousand different ways to tell you how incredible you are as she is not fond of repetition. But the words she will wear out is “I love you,” because even she knows there is no better substitute for them in the history of writing.

Date a girl who writes because you will be her muse, her inspiration. Without you, she will have writer’s block. Or write the greatest tragedy since Cleopatra and Mark Antony. Either way, you are the man she will always write.

Everyday she fascinates you with a new genre. Today she is Romance, tomorrow Philosophy.

Date a girl who writes because when the cold winter of life traps you in old age, there will be somebody there to describe for you the summers in Paris, heat in Arabian nights, and tropical forests in South America so that you feel the warmth of adventure as if you were there. And so, in the twilight of your life, you will feel the touch of youth.

And finally, you must date a girl who writes because it is she who will allow you to live forever. With just her pen, she will make sure that you never grow old nor die nor fade, remembered for generations to come. A character in one of her stories, you will be given the gift of immortality.


image source here
repost from here

My Life As: Writer Meeting You Soon!


Saya ingat sekali ketika mulai berkenalan dengan dunia tulis menulis saat masih duduk di bangku SMP (let me think, it's probably 7 years ago), saya jarang menemukan buku yang menceritakan kisah-kisah penulis yang masa itu sedang jadi penulis tren. Alasannya saya mencari buku jenis begitu simpel saja; saya ingin mengetahui apa yang mereka lakukan sampai pada akhirnya menghasilkan buku yang ada di rak buku saya.

Mereka punya ritual khusus atau tidak? Apa mereka mendengarkan lagu saat menulis? Apa yang mendasari mereka ingin menjadi penulis, mempertahankan keinginan itu, bahkan merealisasikan mimpi mereka itu jadi kenyataan? Serta banyak pertanyaan lain yang pada akhirnya terjawab lewat kumpulan-kumpulan artikel dari koran, majalah, atau media online.

Rasa penasaran itu sudah terjawab, namun bukan berarti, eager dan pertanyaan-pertanyaan itu berhenti di saya, kan? Saya percaya sekali banyak juga yang penasaran dengan cerita di balik penulis-penulis profesional. Dari cerita paling penting sampai tidak penting.

Jadi ketika ditawari Haqi Achmad proyek untuk merangkum kisah penulis-penulis pro yakni Alanda Kariza, Farida Susanty, Clara Ng, Valiant Budi, dan Dewi "Dee" Lestari ke dalam satu buku, saya langsung excited. Mau banget! Ini seperti mimpi dari 7 tahun lalu yang tertunda.

Akhirnya, setelah penantian yang cukup panjang, buku My Life As: Writer sudah coming soon. Kalian bahkan bisa melakukan pre-order online, loh.

I hope you have fun with the book!


Info lebih lanjut mengenai My Life As: Writer, disini.

Stupid Question For Today

Her: Kamu selain lagi sibuk kerjain Tugas Akhir, ngapain lagi?
Me: Sebentar lagi sih mau keluarin buku non-fiksi soal tips menulis sama lagi bantuin temen di media online basis Yogyakarta.
Her: Gajinya gede?
Me: Bantuin, kok. No fee. Murni karena memang pengin punya media yang mau support segala jenis tulisan.
Her: *menyerengit* Rugi dong?
Me: *menggeleng sambil bingung maksud dari rugi itu apa*
Her: Gue sih paling ogah kerja yang nggak dapet uang gitu. Jaman sekarang gitu, semua butuh uang. Iya kali kerja gratisan.. elo kebaikan kali orangnya.
Me: Nulis itu passion gue. Dibayar atau nggak, asal gue senang, kayaknya nggak apa-apa. Nggak ganggu juga kok.
Her: Begini nih anak baru muda yang masih hidup dari mimpi. Nanti kalau sudah kena kenyataan hidup, mimpinya pasti dibuang, dan kerja buat uang.
Me: (senyum maksa) Gue nggak pernah kerja buat uang, kok. Itu kapitalis namanya. Gue kerja untuk memenuhi cita-cita gue dan fokus utamanya memang bukan uang. Kasian pikirannya kalau fokusnya cuma untuk uang. Dangkal. Bahagia diluar, kosong di dalem.

... Kemudian ngeloyor pergi karena merasa pembicaraan akan makin tidak menyenangkan.

I mean, masih ada gitu yang hidup untuk "mencari uang"? We need money, I know that. Tetapi bukan berarti kita diperbudak oleh uang kan?

Mencinta Bayangan

Beberapa minggu belakangan, ritme menulis saya terlihat menarik. Menarik karena berbeda dari waktu-waktu sebelumnya. Mengapa? Karena saya merasakan bahwa eager untuk menulis terasa begitu berbeda.

Tidak perlu ditanya mengapa.

Kalau banyak yang bilang, patah hati menghasilkan royalti, saya adalah salah satu orang yang percaya, menulis yang terbaik adalah (juga) ketika seseorang sedang merasakan jatuh cinta. Betul, jatuh cinta.

Saya sedang merasa jatuh cinta. Bukan pada hujan. Bukan pada mendung. Bukan pada kegiatan alam lainnya.


Saya jatuh cinta pada seseorang yang saya kenal hanya selintas bayangan. Seseorang yang nyata dengan punggung begitu tegap dan cara berbicara yang menyenangkan, namun tidak pernah bisa saya tepuk punggungnya hanya untuk berucap salam.

Pada momen ini juga, akhirnya saya mengerti perasaan wanita dalam salah satu kisah omnibus "Rectoverso" berjudul Hanya Isyarat. Rasa ketika ia hanya bisa memandang punggung laki-laki itu dan hanya bisa memberi isyarat cinta lewat udara.

Pada sebuah mendung di waktu 2:40 sore, dengan sebuah kopi pahit dan materi mengenai Tugas Akhir yang belum tersentuh, serta sebuah lagu yang sudah berminggu-minggu saya dengarkan tanpa dihempas rasa bosan.

Saya tidak bisa menghindar; saya mengingat bayangannya.

Bayangan yang masih tergambar begitu jelas. Punggung, tas ransel, rambut hitam, warna kulit .... seluruhnya masih ada di memori kepala ini secara begitu kuat, lekat, dan tidak bisa saya hilangkan. Bayangan itu seperti terkristal.

Saya ingat ketika punggung dan tas ransel begitu dekat dari jangkauan tangan saya. He is so close yet so far away. Punggung itu tidak bisa saya sentuh sedekat apapun jaraknya. Mengapa? Entah. Mungkin karena itulah saya menyebutnya dengan bayangan.

Saya mencintai, namun tidak mampu menjelaskan segala rasa padanya.
Saya sebenarnya tidak ingin merasakan atau memikirkan ini terlalu dalam. Tetapi untuk kali ini, momen yang datang terlalu indah untuk terhempas begitu saja. Saya akhirnya mampu menikmati hujan dalam kesendirian yang menyenangkan.

Dan kemunculan bayangannya dalam kepala ini adalah sebuah akibat yang wajar.

Saya rindu dia. Saya rindu berbicara dengan dia. Saya rindu mendengar ia berbicara mengenai sesuatu yang tidak saya mengerti. Saya rindu mendengar rencana-rencana dia mengenai hidupnya. Saya rindu menghirup udara bercampur asap rokoknya.

Saya rindu ..... sayang, rindu ini tidak pernah ia ketahui keberadaannya karena ia hanya sebatas bayangan. Ia nyata, akan tetapi, ia adalah bayangan untuk saya dan cinta saya.



Starbucks 3:28 PM, Tangerang .... 
(Tepat ketika ini selesai ditulis, hujan tidak jadi turun dan awan hitam mulai kembali digantikan dengan awan terang. Ini seperti pertanda kalau mungkin ia akan benar-benar hanya menjadi bayangan untuk saya. Tidak apa-apa. Saya tetap menikmati rasa ini.)

Quote Of The Day

Sometimes I feel so, I don’t know, lonely. The kind of helpless feeling when everything you’re used to has been ripped away. Like there’s no more gravity, and I’m left to drift in outer space with no idea where I’m going. (Haruki Murakami)

Yogyakarta

"I hate to taste, but I'd do it again ..." (Black Rebel Motorcycle Club)



Saya pernah berkata bahwa saya meninggalkan sebagian hati saya di Bali dalam post ini. Kali ini dengan hati-hati namun percaya diri saya katakan bahwa saya kembali meninggalkan setengah hati saya di Yogyakarta.

Perkenalan dengan Yogya selama 3 hari 2 malam meninggalkan kesan yang sangat membekas di hati dan pikiran saya. Lewat sebuah mata kuliah bernama Tugas Akhir, membawa segudang tanggung jawab berbentuk riset, saya sendirian ke Yogya. Persiapan pergi yang hanya memiliki tengat waktu satu hari ini menjadi trip pertama saya sendiri, menggunakan pesawat sendiri, dan semuanya serba sendiri.

Anehnya, hanya rasa damai yang cenderung memenuhi sukma. Tidak ada rasa takut.

Membekal riset yang harus dihabiskan sebelum pulang, saya habiskan hari pertama dan kedua dengan pergi ke tempat-tempat yang menjadi tujuan riset saya. Menjelang malam di hari kedua, barulah saya bisa menikmati Yogya dengan warna yang lebih berbeda.

Pun berkeliling (sebagian) tempat-tempat di Yogya dengan motor akhirnya saya alami sendiri.

... Dan ternyata, Yogya begitu indah saat hujan, saat malam hari, saat pagi hari. Yogya tampak punya warnanya sendiri.


Sebuah perjalanan yang cantik dan penuh warna, walau waktu yang ada terasa begitu singkat. Namun tidak apa-apa. Bukan soal waktu, tapi soal rasa yang tertinggal... dan saya merasa cukup dengan itu semua.

Melepaskan, Merelakan, Bebas

Saya membaca ini di timeline malam hari kemarin:

Menulislah tentang apa saja malam ini. Lalu baca tulisan itu lima tahun lagi dan rasakan seberapa jauh kamu telah tumbuh semenjak hari ini. (@kartikajahja)

Tergoda, saya mulai membaca-baca ulang draft tulisan, mulai dari draft yang ada di laptop sampai dengan yang ada di blog.

Dari semuanya, ada satu tulisan yang menarik perhatian saya. Menarik yang berarti membuat saya bernostalgia di masa beberapa tahun lalu, dimana tulisan saya masih berwarna begitu merah dan marah pada keadaan hidup yang tidak sesuai dengan ekspektasi saya.

Seperti yang sering saya katakan, menulis adalah sebuah media untuk mengungkapkan apa yang tidak bisa saya ungkapkan lewat kata-kata. Saya tidak pandai berbicara perasaan lewat kata-kata, namun lewat tulisan, saya bisa berkata jauh lebih jujur. Saya ingat satu kalimat menarik: "tangan saya jauh lebih jujur daripada mulut saya."

That happens to me.

Membaca tulisan-tulisan yang menjadi rekapan hidup sejak beberapa tahun lalu adalah sebuah oase pada gurun. Saya jadi teringat pola hidup yang dulu sering terjadi: menyalahkan keadaan dan kemudian berbalik dengan melakukan hal yang tidak seharusnya saya lakukan demi meneriakkan rasa kecewa saya. Bodoh? Tentu saja.

Saya selalu bertanya, apakah saya bisa kembali menjadi pribadi yang mempunyai warna hidup cerah? Apakah saya bisa tersenyum tanpa harus merasa sepi setelahnya? Atau, yang paling krusial dari semuanya, apakah saya masih bisa kembali percaya sepenuhnya?

Bertahun-tahun hidup seperti itu, saya (pada akhirnya) sampai di tahap lelah. Lelah dengan semuanya dan memilih untuk hanya diam. Saya tahu sesuatu terjadi dalam diri saya, namun pikiran sudah terlalu lelah diajak berputar-putar mengenai satu hal yang sama. Kelelahan itu mungkin sampai pada puncaknya, dan perbincangan dengan salah seorang teman baik membawakan saya pada sebuah konklusi: melepaskan, merelakan (you name it).


----


Melepaskan.

Sungguh itu adalah nikmat terbesar yang saya miliki seumur hidup saya. Sayangnya, saya baru belajar mengenal rasa itu beberapa bulan belakangan. Setelah melepaskan semua rasa yang menghimpit tubuh dan rongga paru-paru selama kurang lebih 4 tahun, saya merasa bebas.

Bebas dari segalanya.

Saya ingat, salah satu pembicaraan dengan seorang fotografer, Agustinus Sidarta. Dengan lantang beliau mengatakan bahwa "bagaimana kita mau menerima yang baru, yang baik, kalau seandainya kita tidak membiarkan pikiran kita bebas? Kalau kita masih terkukung ini dan itu?"

Saya merasa lahir baru.
Saya merasa memiliki hidup baru yang lebih berwarna dan penuh dengan cita-cita baru.
Saya merasa ..... bebas.

Dan saya merasa itu lebih dari cukup untuk mengawali hari di dunia.